Kamis, 21 Mei 2009

ZIS SOLUSI TERHADAP PROBLEMATIKA KEMISKINAN

Kemiskinan dan pengangguran tampaknya masih menjadi problematika utama yang dihadapi oleh bangsa kita saat ini. Berdasarkan data yang ada, tingkat kemiskinan tahun ini mencapai angka 39,5 persen, lebih tinggi daripada angka kemiskinan tahun lalu yang mencapai 35,1 persen. Begitu pula dengan angka pengangguran yang mencapai 11 persen di tahun 2006 ini. Keduanya menjadi indikator betapa bangsa kita masih belum mampu melepaskan diri dari keterpurukan. Sementara di sisi lain kita pun melihat bahwa sektor riil berada pada kondisi stagnan. Padahal sektor inilah yang diharapkan mampu membuka lapangan pekerjaan dan menyerap pengangguran. Kondisi tersebut menyebabkan penduduk miskin negeri ini tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan daya belinya. Akibatnya gap antara yang kaya dan yang miskin semakin menjadi-jadi.

Sesungguhnya Rasulullah SAW sendiri telah mengingatkan kita dalam sebuah haditsnya agar kita menjadi pembela orang-orang miskin (al-hadits). Tidak boleh kefakiran dibiarkan merajalela di mana-mana, karena kefakiran itu sesungguhnya hanya akan menyebabkan dekatnya orang dengan kekufuran (al-hadits). Meng-khianati kaum miskin hanya akan mengundang kemurkaan Allah. Keber-kahan hidup akan dicabut dan berbagai bencana akan datang silih berganti (al-hadits). Bunga Versus Bagi Hasil Kalau kita mau merenungkan kembali perjalanan bangsa ini, maka sesungguhnya penyebab utama keterpurukan ini adalah akibat jauhnya kita dari tuntunan ajaran Allah SWT. Kita sudah terlalu sering bermain-main dengan ayat-ayat-Nya. Sekaranglah saatnya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepadaNya. Sekaranglah momentum yang tepat untuk merefleksikan ajaran Islam dalam pembangunan ekonomi bangsa ke depan.

Harus disadari bahwa sistem kapitalis telah gagal menciptakan kesejahteraan yang hakiki. Bunga, sebagai “nyawa” sistem ekonomi modern, justru menjadi sumber utama penyebab stagnannya sektor riil. Ia adalah sumber penyebab terkon-sentrasinya kekayaan di tangan segelintir kelompok (perhatikan QS. Ar-Rum: 39 dan QS. Al-Hasyr: 7). Bunga juga merupakan penyebab keluarnya uang dari peredaran. Padahal, peredaran uang adalah ibarat peredaran darah dalam tubuh kita. Ketika pembuluh darah mengalami berbagai sumbatan dan penyempitan, maka akan menimbulkan berbagai penyakit dalam tubuh. Dengan bunga, orang akan lebih terdorong untuk menyimpan uangnya di sektor keuangan daripada meng-investasikannya di sektor riil.

Adanya dana yang “menganggur” di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar 200 triliun rupiah merupakan salah satu bukti kecil, yang bisa dijadikan contoh. Inilah sesungguhnya salah satu rahasia mengapa seringkali terjadi ketidaksesuaian antara kondisi makro ekonomi dengan keadaan sektor riil. Baik-nya kondisi makro tidak otomatis men-jadikan baiknya sektor riil. Berbeda dengan bagi hasil. Dalam sistem ini orang akan dipacu untuk terus berinvestasi karena return yang akan ia terima sangat tergantung pada investasi yang dilakukannya. Bahkan menabung di bank syariah, terutama dalam bentuk deposito dan tabungan mudarabah, merupakan salah satu bentuk investasi. Akad-akad dalam praktek keuangan syariah pada hakekatnya merupakan akad-akad di sektor riil. Tidak mungkin mudarabah dan musyarakah akan eksis kalau tidak ada jenis usaha riil yang dilakukan. Sektor keuangan akan selalu bersesuaian dengan sektor riil. Maju mundurnya sektor keuangan sangat ditentukan oleh maju tidaknya sektor riil. Filosofi yang sama tidak akan pernah kita temukan pada konsep ekonomi konvensional. Dan bersama-sama mengembangkan sistem ekonomi syariah.

Pertama dengan, ZIS (zakat, infak dan sedekah). ZIS adalah salah satu solusi terhadap problematika kemiskinan. Ingatlah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda “Sesungguhnya Allah SWT telah me-wajibkan atas hartawan Muslim suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seorang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan Muslim...” (HR Imam Al-Asbahani). Tidak mungkin peradaban dan kejayaan umat ini akan datang kembali tanpa ditopang oleh kokohnya pembangunan zakat. ZIS dapat menggerakkan perekonomian kelompok masyarakat lemah. Jika kaum dhuafa ini terberdayakan, maka dengan sendirinya perekonomian negara secara keseluruhan pun akan bergerak dan berkembang (perhatikan QS. At-Taubah: 60).

Kedua adalah wakaf, termasuk wakaf uang (sering disebut wakaf tunai). Kalau kita melihat sejarah kejayaan Khilafah Turki Usmani yang telah menguasai dunia selama 600 tahun, maka salah satu sumber utama penyebab kuatnya perekonomian mereka adalah karena wakaf tunai. Wakaf tunai telah menjadi inspirasi kejayaan peradaban Turki. Ia adalah potensi sumber pendanaan yang sangat luar biasa jika mampu dikelola dengan baik. Bangsa Indonesia tidak perlu berutang kepada negara-negara kaya jika ia mampu menggali potensi wakaf tunai ini.

Ketiga, perbankan syariah. Sektor ini pun harus didukung untuk terus berkembang, peningkatan kualitas SDM perbankan syariah secara terus menerus, sehingga produktivitas dan profesionalis-me mereka mampu menjadikan perbankan syariah nasional lebih kompetitif dan memiliki daya saing yang tinggi. Pemerintah pun harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk membantu berkembangnya industri perbankan syariah.

Keempat, sukuk atau obligasi syariah. Sukuk adalah instrumen yang mampu mendorong pada peningkatan arus investasi ke tanah air.

Kelima, lembaga keuangan mikro (LKM) syariah, seperti BMT (Baytul Maal wat Tamwil). Mengembangkan sektor usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jepang telah mem-buktikan bahwa kuatnya perekonomian mereka salah satunya adalah dikarenakan kuatnya industri kecil dan menengah mereka, dimana kontribusi UKMnya mencapai 50 persen dari total kekuatan perindustrian Jepang.

Keenam, sektor keuangan lainnya, seperti pasar modal syariah, asuransi syariah, pergadaian syariah, dll. Penulis berkeyakinan bahwa mengembangkan ekonomi syariah merupakan satu satunya jawaban untuk mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi. Wallahu’alam ***ha